Ritual adat yang masih terpelihara hingga saat ini di masyarakat Jazirah Eks Kesultanan Buton yaitu Peka Kande-Kandea di Buton, Sulawesi
Tenggara. Peka Kandea-Kandea sendiri bermakna ‘Santap Bersama’. Pada
acara-acara syukuran, mereka menyediakan talang (nampan/wadah makanan)
yang telah diisi oleh beragam makanan mulai dari kue-kue tradisional,
nasi merah, ikan, dan lauk pauk lainnya hingga buah-buahan.
Talang-talang ini dijaga oleh perempuan Buton yang didandani dan
mengenakan baju adat Buton.
Awalnya, Peka Kande-Kandea diadakan sebagai pesta syukuran dan jamuan
bagi prajurit yang memenangkan pertempuran untuk menghadapi musuh yang
ingin menguasai Kerajaan Wolio Buton. Gadis-gadis Buton ditugaskan untuk
menjaga talang yang disiapkan. Kemudian, tradisi ini berkembang bukan
hanya sebagai pesta syukuran, tapi juga mejadi ajang pergaulan muda-mudi
dan pertemuan masyarakat lainnya yang terikat dengan tata krama.
Para
gadis-gadis memperbaiki dandannya. Mempersiapkan nampan-nampan berisi
makanan di depan mereka. Mereka memakai baju adat kombo wolio khusus
untuk para gadis perawan yang belum menikah. Sanggul khas di kepalanya
sebagai penanda bahwa mereka adalah Pekakande-kandea adalah salah satu
acara tradisional yang diadakan oleh masyarakat dalam rangka menyambut
kedatangan para Pahlawan negeri yang kembali dari medan juang dengan
membawa kemenangan gemilang. Disamping itu acara ini merupakan pula
acara pertemuan muda mudi karena hanya pada acara seperti inilah remaja
putera dan puteri memperoleh kesempatan bebas untuk saling pandang.
Disinilah
gadis remaja dengan menggunakan busana tradisional pula duduk
menghadapi talam masing-masing. Setelah tiba saatnya, tampillah dua
orang pelaksana untuk mengucapkan WORE, sebagai satu pertanda bahwa
acara Pekakande-Kandea siap dimulai, selanjutnya disusul dengan irama
KADANDIO dan DOUNAUNA dengan pantun awal :
“ Maimo sapo lapana puuna gau ““ Katupana Mia bari ‘ amatajamo “
Selanjutnya
terbukalah kesempatanb bagi siapa saja untuk duduk menghadapi talam.
Distulah remaja Putera menyampaikan isi hatinya melalui irama lagu
berupa pantun, seraya menunggu saatnya pria melaksanakan tompa. Kemudia
sebagai tanda terima kasih sang pemuda memBerikan hadiah pada sang
Puteri yang memberikan suapan atau sipo kepadanya.
Sebagai
rentetan dari acara ini kadangkala terjadilah kontak yang membawa
nikmat antara kedua insan remaja, berupa proses adat tanah leluhur yang
berbentuk pinangan.gadis-gadis yang belum menikah.
Mereka
memperbaiki susunan makanan yang ada di depannya. Menata piring-piring
dan gelas-gelas untuk para tamu yang akan duduk di depan mereka. Acara
ini adalah acara Kande-kandea yang dalam arti bahasa wolio makan-makan.
Sering berjalan nya waktu, Pakande-kandea juga sering di selenggarakan
sebagai ungkapan rasa syukur atas telah terlaksana nya ibadah di bulan
puasa, karena nya tradisi ini sering di temui di tengah-tengah komunitas
masyarakat Buton Wolio tak lama setelah hari raya Idhul Fitri tiba. Di
beberapa kesempatan sering kali di adakan setelah tahun baru tiba.
Menarik untuk menyimak tradisi Pakande-kandea di masa sekarang karena
selain selalu membawa banyak sekali warisan budaya masa lalu, tradisi
ini juga kerap di gunakan oleh para generasi muda Wolio untuk mencari
calon pasangan hidup nya. Ragam makanan yang tersaji di atas nampan yang
sengaja di letak kan berjejer satu sama lain sungguh mengundang selera
bagi siapa saja yang melihat nya.
Para remaja pria Wolio pun duduk berjejer di salah satu sisi barisan
talam tersebut. Sementara di sisi yang lain para remaja putri nya
bersiap menyuapi pria yang duduk di hadapan nya, memberikan kesempatan
bagi para remaja berlainan jenis ini untuk saling melempar pandang.
Busana dan penampilan para remaja putri Wolio ini pun lain dari biasa
nya, bentuk sanggul yang khas yang menyatu dengan rambut di atas kepala
menandakan bahwa para remaja putri ini adalah gadis-gadis yang belum
terikat oleh sebuah ikatan perkawinan. Tak hanya itu, para remaja putri
ini juga memakai pakaian khas daerah yang oleh masyarakat Wolio di sebut
‘kombo wolio’ yang juga berarti bahwa pria mana pun bisa berkenalan
dengan nya dan bila cocok, mempersunting nya.
Alunan pukulan gong yang menyatu dengan tetabuhan ‘mbololo’ – sejenis
gamelan di pulau Jawa – semakin memberikan nuansa asli kedaerahan yang
membungkus rapi sebuah kebersamaan. Melantun pula lah ‘douna-una’ dan
‘kadhandio’ , syair dan pantun-pantun daerah yang menggugah semangat dan
menggairahkan kehidupan masyarakat yang mendengar nya.
Di masa-masa sekarang, Pakande-kandea adalah juga tradisi mempererat
tali silaturahmi antar warga dan pejabat daerah. Juga sebagai jamuan
bagi pendatang yang menginjak kan kaki nya di tanah Wolio.
Tidak ada salah nya bila anda datang berkunjung ke Buton dan menikmati
pemandangan tradisi Pakande-kandea ini menyemarak kan kehidupan
masyarakat nya. Pulau ini bisa di jangkau hanya dengan satu jam
penerbangan menggunakan pesawat komersial dari Makassar ke Bau-Bau,
salah satu kota transit yang berada di bagian selatan Pulau Buton.
Alternatif lain yang bisa di ambil bila anda berkesempatan untuk
mengunjungi pulau dengan sejuta pesona budaya nya ini adalah melewati
ibukota provinsi Sulawesi Tenggara, yaitu kota Kendari.
Dari Kendari, perjalanan bisa di lanjutkan dengan menaiki kapal cepat
dengan waktu tempuh kuran Lebih selama 5 jam setelah sebelum nya
melakukan pemberhentian di pelabuhan Raha di Pulau Muna.
Ragam sajian daerah seperti ‘kasuami’, ‘lapa-lapa’, ‘kado minya’ dan
‘nasu Wolio’ serta ‘cucuru’ bakal tersedia bagi anda penikmat kuliner
sejati, tentu saja anda bakalan menikmati hidangan tersebut dengan
sesekali mendengar cekikik tawa para remaja yang saling berpandang dan
bersuapan mesra.
0 comments:
Post a Comment