Saturday, January 21, 2017

Keunikan Acara Kande-Kandea, Ritual Adat Suku Buton

Ritual adat yang masih terpelihara hingga saat ini di masyarakat Jazirah Eks Kesultanan Buton yaitu Peka Kande-Kandea di Buton, Sulawesi Tenggara. Peka Kandea-Kandea sendiri bermakna ‘Santap Bersama’. Pada acara-acara syukuran, mereka menyediakan talang (nampan/wadah makanan) yang telah diisi oleh beragam makanan mulai dari kue-kue tradisional, nasi merah, ikan, dan lauk pauk lainnya hingga buah-buahan. Talang-talang ini dijaga oleh perempuan Buton yang didandani dan mengenakan baju adat Buton.

Awalnya, Peka Kande-Kandea diadakan sebagai pesta syukuran dan jamuan bagi prajurit yang memenangkan pertempuran untuk menghadapi musuh yang ingin menguasai Kerajaan Wolio Buton. Gadis-gadis Buton ditugaskan untuk menjaga talang yang disiapkan. Kemudian, tradisi ini berkembang bukan hanya sebagai pesta syukuran, tapi juga mejadi ajang pergaulan muda-mudi dan pertemuan masyarakat lainnya yang terikat dengan tata krama.




Para gadis-gadis memperbaiki dandannya. Mempersiapkan nampan-nampan berisi makanan di depan mereka. Mereka memakai baju adat kombo wolio khusus untuk para gadis perawan yang belum menikah. Sanggul khas di kepalanya sebagai penanda bahwa mereka adalah Pekakande-kandea adalah salah satu acara tradisional yang diadakan oleh masyarakat dalam rangka menyambut kedatangan para Pahlawan negeri yang kembali dari medan juang dengan membawa kemenangan gemilang. Disamping itu acara ini merupakan pula acara pertemuan muda mudi karena hanya pada acara seperti inilah remaja putera dan puteri memperoleh kesempatan bebas untuk saling pandang.
 
Dalam pelaksanaannya, masyarakat menyiapkan talam yang berisikan makanan tradisional, kemudian secara bersama berkumpul dalam satu arena  yang telah ditetapkan.

Disinilah gadis remaja dengan menggunakan busana tradisional pula duduk menghadapi talam masing-masing. Setelah tiba saatnya, tampillah dua orang pelaksana untuk mengucapkan WORE, sebagai satu pertanda bahwa acara Pekakande-Kandea siap dimulai, selanjutnya disusul dengan irama KADANDIO dan DOUNAUNA dengan pantun awal :
 
“ Maimo sapo lapana puuna gau ““ Katupana Mia bari ‘ amatajamo “
 
Selanjutnya terbukalah kesempatanb bagi siapa saja untuk duduk menghadapi talam. Distulah remaja Putera menyampaikan isi hatinya melalui irama lagu berupa pantun, seraya menunggu saatnya pria melaksanakan tompa. Kemudia sebagai tanda terima kasih sang pemuda memBerikan hadiah pada sang Puteri yang memberikan suapan atau sipo kepadanya.
 
Sebagai rentetan dari acara ini kadangkala terjadilah kontak yang membawa nikmat antara kedua insan remaja, berupa proses adat tanah leluhur yang berbentuk pinangan.gadis-gadis yang belum menikah.
 
Mereka memperbaiki susunan makanan yang ada di depannya. Menata piring-piring dan gelas-gelas untuk para tamu yang akan duduk di depan mereka. Acara ini adalah acara Kande-kandea yang dalam arti bahasa wolio makan-makan.
 

Sering berjalan nya waktu, Pakande-kandea juga sering di selenggarakan sebagai ungkapan rasa syukur atas telah terlaksana nya ibadah di bulan puasa, karena nya tradisi ini sering di temui di tengah-tengah komunitas masyarakat Buton Wolio tak lama setelah hari raya Idhul Fitri tiba. Di beberapa kesempatan sering kali di adakan setelah tahun baru tiba.

Menarik untuk menyimak tradisi Pakande-kandea di masa sekarang karena selain selalu membawa banyak sekali warisan budaya masa lalu, tradisi ini juga kerap di gunakan oleh para generasi muda Wolio untuk mencari calon pasangan hidup nya. Ragam makanan yang tersaji di atas nampan yang sengaja di letak kan berjejer satu sama lain sungguh mengundang selera bagi siapa saja yang melihat nya.

Para remaja pria Wolio pun duduk berjejer di salah satu sisi barisan talam tersebut. Sementara di sisi yang lain para remaja putri nya bersiap menyuapi pria yang duduk di hadapan nya, memberikan kesempatan bagi para remaja berlainan jenis ini untuk saling melempar pandang.

Busana dan penampilan para remaja putri Wolio ini pun lain dari biasa nya, bentuk sanggul yang khas yang menyatu dengan rambut di atas kepala menandakan bahwa para remaja putri ini adalah gadis-gadis yang belum terikat oleh sebuah ikatan perkawinan. Tak hanya itu, para remaja putri ini juga memakai pakaian khas daerah yang oleh masyarakat Wolio di sebut ‘kombo wolio’ yang juga berarti bahwa pria mana pun bisa berkenalan dengan nya dan bila cocok, mempersunting nya.

Alunan pukulan gong yang menyatu dengan tetabuhan ‘mbololo’ – sejenis gamelan di pulau Jawa – semakin memberikan nuansa asli kedaerahan yang membungkus rapi sebuah kebersamaan. Melantun pula lah ‘douna-una’ dan ‘kadhandio’ , syair dan pantun-pantun daerah yang menggugah semangat dan menggairahkan kehidupan masyarakat yang mendengar nya.

Di masa-masa sekarang, Pakande-kandea adalah juga tradisi mempererat tali silaturahmi antar warga dan pejabat daerah. Juga sebagai jamuan bagi pendatang yang menginjak kan kaki nya di tanah Wolio.

Tidak ada salah nya bila anda datang berkunjung ke Buton dan menikmati pemandangan tradisi Pakande-kandea ini menyemarak kan kehidupan masyarakat nya. Pulau ini bisa di jangkau hanya dengan satu jam penerbangan menggunakan pesawat komersial dari Makassar ke Bau-Bau, salah satu kota transit yang berada di bagian selatan Pulau Buton. Alternatif lain yang bisa di ambil bila anda berkesempatan untuk mengunjungi pulau dengan sejuta pesona budaya nya ini adalah melewati ibukota provinsi Sulawesi Tenggara, yaitu kota Kendari.

Dari Kendari, perjalanan bisa di lanjutkan dengan menaiki kapal cepat dengan waktu tempuh kuran Lebih selama 5 jam setelah sebelum nya melakukan pemberhentian di pelabuhan Raha di Pulau Muna.
Ragam sajian daerah seperti ‘kasuami’, ‘lapa-lapa’, ‘kado minya’ dan ‘nasu Wolio’ serta ‘cucuru’ bakal tersedia bagi anda penikmat kuliner sejati, tentu saja anda bakalan menikmati hidangan tersebut dengan sesekali mendengar cekikik tawa para remaja yang saling berpandang dan bersuapan mesra.
 


0 comments:

Post a Comment